Rasa Waswas Bisa Jadi Sumber Penyakit!
APAKAH Anda termasuk orang yang mudah khawatir? Jika ya, berhati-hatilah. Sebab itu bisa menjadi sumber penyakit yang menghantui Anda
sepanjang hidup.
Demikian simpulan kajian yang dilakukan para peneliti lintas disiplin ilmu (psikologi, obat, ilmu syaraf dan genetika) yang baru-baru ini disajikan
dalam majalah Perhimpunan Sains Psikologi, Oberserver.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kepekaan kita pada stress saat dewasa sudah “tertata” pada masa kecil. Secara khusus, jumlah
stress yang dialami pada masa kanak-kanak membuat peka satu organisme hingga tingkat tertentu kesengsaraan.
Tingginya tingkat stress pada masa kanak-kanak mungkin menghasilkan kondisi yang sangat peka terhadap stress dalam kehidupan
selanjutnya, serta depresi saat dewasa.
Menurut penelitian tersebut, sebagian orang dan juga hewan, lebih rentan terhadap stress. Satu studi pada 2007 mendapati bahwa tikus yang
cenderung menghadapi stress menghasilkan terlalu banyak protein tertentu, yang tampaknya membuat mereka bereaksi berlebihan.
Selain sakit jantung, gangguan stress pasca-trauma dan depresi, stress kronis telah berkaitan dengan berbagai penyakit seperti gangguan
usus, sakit gusi, disfungsi ereksi, gangguan pertumbuhan, dan bahkan kanker.
Satu studi menemukan bahwa orang yang mengalami banyak stress di tempat kerja lebih mungkin untuk terserang diabetes tipe 2.
Penelitian baru-baru ini juga memperlihatkan bahwa hormon stress dapat mengakibatkan gangguan kulit seperti psoriasis dan eksim.
Peningkat hormon stress secara kronis telah terbukti meningkatkan pertumbuhan sel-sel pra-kanker dan tumor.
Hormon itu juga menurunkan daya tahan tubuh terhadap HIV dan virus penyebab kanker seperti virus papilloma (pendahulu kanker tengkuk
pada perempuan).
***
Makanan Bisa Cegah Penyakit?
MAKAN tomat bisa mencegah kanker, mengonsumsi bawang putih bisa mencegah AIDS, dan minum jus buah dapat menurunkan risiko
menderita Alzheimer alias pikun.
Para ahli pada Pusat Penelitian Kanker dan Makanan Prancis (National Food and Cancer Research Centre, NACRe) juga mengatakan diet
bervariasi yang terdiri atas buah dan sayuran dapat membantu mencegah kanker pada mulut, faring, oesophagus, paru-paru, perut, pankreas,
kolon, dan saluran kencing. Namun, benarkah demikian?
Para ilmuwan sepakat bahwa diet seimbang dapat menjadi kunci kesehatan. Memperhatikan apa yang kita makan, kata para ahli, dapat
membantu tubuh melawan penyakit seperti diabetes, hypercholesterolaemia yang menyebabkan penyakit kardiovascular atau osteoporosis.
Namun peneliti tidak sepakat jika penyakit dikatakan terkait langsung dengan nutrisi.
Berbagai penelitian memang menunjukkan adanya manfaat makanan tertentu bagi kesehatan. Namun tak serta merta kita harus makanan
tersebut yang selalu dikonsumsi. Menurut Afssa, salah seorang anggota badan keamanan makanan Prancis, tidak ada makanan yang baik
atau makanan yang buruk. Sebab, selalu ada sisi positif dan negatif.
Ia mencontohkan lemak diketahui berbahaya bagi sistem kardiovaskular dan dapat meningkatkan risiko kanker payudara hingga dua kali lipat.
Di sisi lain buncis diyakini dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.
Namun yang patut diperhatikan, buncis yang kaya antioksidan dan dapat membantu sel-sel tetap bertahan ternyata bisa meningkatkan risiko
ketidaksuburan.
Likopen, zat antioksidan yang banyak terdapat dalam kulit tomat merah maupun buah lain yang berwarna merah, oleh beberapa ahli juga
dinyatakan dapat membantu mengurangi risiko kanker.
Namun, Balai Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration (FDA)) menyatakan hal ini masih belum terbukti.
‘’Jadi tidak ada makanan baik dan makanan buruk,’’ kata Afssa.
The World Cancer Research Fund (WCRF), setelah menyarikan 7.000 penelitian dari seluruh dunia, merekomendasikan agar kita
menghindari makanan dan minuman yang mengandung banyak gula, garam atau lemak dan miskin serat. Sebagai gantinya kita disarankan
mengonsumsi buah, sayuran, dan sereal.
Makan dengan baik juga merupakan kunci perawatan pasien positif HIV mengingat malnutrisi dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh
sehingga dapat menurunkan resistensi tubuh terhadap efek samping yang mengikuti.
INFO MEDIKA
Suara Merdeka Edisi Cetak
06 November 2008
(Nur Hidayatullah-13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar